Elnino M. Husein Mohi
5 Sept 2006
Sudah jadi rahasia umum, stow, bahwa pejabat yang rajin bolak-balik Gorontalo-Jakarta adalah pejabat-pejabat yang sedang mengejar 'setoran SPPD'. SPPD, kalau tak salah, adalah singkatan dari Surat Perintah Perjalanan Dinas. Makna harfiahnya, ya surat. Tetapi sekarang ini SPPD dimaknai sebagai 'uang', yakni uang yang diterima oleh seorang pejabat untuk membiayai perjalanan dinas-nya.
Perjalanan dinas, menurut kamus, adalah perjalanan yang dilakukan untuk kepentingan dinas. Sementara 'dinas' itu sendiri bermakna 'kantor' atau 'resmi'. Sederhananya, 'perjalanan dinas' adalah perjalanan untuk kepentingan kantor atau kepentingan resmi yang berkaitan erat dengan kantor. Dengan definisi seperti itu, maka seorang pejabat pemerintahan (eksekutif, yudikatif, legislatif) berhak atas sejumlah uang ketika dia melakukan perjalanan dalam rangka mengurus rakyat.
Sejauh ini, hanya sedikit orang yang peduli dengan besaran anggaran perjalanan dinas tersebut. "Tingga dorang pe hak itu, wuti liyo monu. Pata'o pongolaamu....," begitu komentar beberapa aktifis yang sempat saya ajak bicara.
Ya, tidak ada persoalan sama sekali bagi saya apabila seorang pejabat diberikan 'uang SPPD' ketika dia melakukan perjalanan demi urusan rakyat banyak. Apalagi, urusan rejeki sudah diputuskan Tuhan dari sononya. Saya percaya, Tuhan sudah memutuskan besaran rejeki masing-masing orang. Tetapi bagaimana cara rejeki yang sudah diputuskan tersebut diperoleh individu, itu tergantung individu itu sendiri.
Apa yang saya pertanyakan di sini adalah besaran anggaran SPPD yang, menurut hitung-hitungan saya, sangat-sangat-sangat boros! Meski menggunakan sistem "Anggaran Berbasis Kinerja" sekali pun!
Kita bisa lihat dari pos anggaran SPPD Kabupaten Bone Bolango, sebagai misal. Anggaran SPPD untuk 25 anggota DPRD-nya menghabiskan dana sebesar Rp. 2,767 Miliar yang kemudian ditambah lagi menjadi Rp. 3,12 Miliar. Angka itu dua kali lipat dari PAD Bonbol yang hanya sebesar Rp. 1,5 Miliar. PAD adalah Pendapatan Asli Daerah berupa pajak dan retribusi yang ditarik pemerintah dari kantong-kantong rakyat.
Argumentasi yang 'pro-SPPD' tentu berupa kalimat, "Wei... itu doyi dari Jakarta, bukan doyi lo rakyat... bukan ngana pe doyi... Kiapa ngana ba'urus....!". Di sinilah kesalahannya, yaitu ketika uang-uang dari Jakarta (berupa DAU, DAK, Dana Dekonsentrasi, Special Treatment, ABT, dll) tidak dianggap sebagai 'hak rakyat', melainkan sebagai 'hak pemerintahan'.
Kalau pun itu dianggap sebagai 'uang pemerintahan' (dan bukan uang rakyat), maka semestinya uang itu pun dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, bukan? Pertanyaan lanjutannya adalah, apakah sebuah kabupaten akan maju apabila "besar pasak daripada tiang"? Lebih besar pengeluaran daripada pendapatan?
Lihat pula bagaimana besaran SPPD Gubernur Gorontalo yang lebih dari Rp. 1 Miliar per tahun. Hanya untuk satu orang Gubernur. SPPD untuk Wakil Gubernur lain lagi... ya... sekitar-sekitar segitulah. Kalau dihitung-hitung, harga tiket pesawat, akomodasi hotel bintang lima dan seterusnya selama 3 hari di Jakarta, seseorang dari Gorontalo hanya akan menghabiskan ya... kira2 sekitar Rp.10 juta. Itu pun sudah dengan fasilitas yang serba mewah-wah. Jadi, silahkan menghitung- hitung bagaimana cara menghabiskan Rp. 1 Miliar itu dalam waktu 365 hari.
Begitu juga dengan SPPD para wakil rakyat di berbagai tingkatan; di provinsi dan di kabupaten/kota yang lain. Perhatikan, deh, pos "Perjalanan Dinas"-nya. Hitung baik-baik, lalu jawablah pertanyaan berikut ini; Dilihat dari penggunaan SPPD, apakah yang diterapkanselama ini adalah "anggaran berbasis kinerja" atau "kinerja berbasis anggaran"?
***
Selama ini, ada kesalah-mengertian orang, terutama pejabat, mengenai SPPD. Para pejabat menganggap bahwa pos SPPD itu adalah 'wajib hukumnya'. "Iya, dong... yang penting kan sesuai peraturan yang berlaku," begitu kata mereka. Lagipula, kata mereka, pos SPPD itulahyang paling mudah pertanggungjawabannya secara administratif. Ya, supaya tidak dianggap korupsi, lah!
Semua argumentasi itu benar adanya. Sekali lagi; Benar. Tetapi, kalau kita melihat secara umum, apakah pembelajaan uang-uang rakyat melalui SPPD itu efektif dan efisien dalam usaha mencapai tujuan pemerintahan, yaitu kesejahteraan rakyat?
***
Terbuka saja, saya sendiri terlalu kuatir sebelum menulis artikel ini. Saya kuatir dianggap mengurusi rejeki orang. Saya kuatir dianggap iri hati. Saya kuatir disangka tutuhiya. Karena itu saya memohon maaf sebesar-besarnya, apabila ada salah kata, ada salah pertanyaan. Bukan itu maksud saya. Saya hanya ingin anggaran milik rakyat kita tergunakan dengan efisien dan efektif untuk peningkatan taraf hidup rakyat.###
Friday, August 10, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
ya tidak mungkinlah kepentingan daerah untuk diurus ke daerah lain harus pake uang sendiri. Ngapain jadi pegawai kalau tidak sejahtera pake uang sendiri melulu. Bisa nggak makan keluarga.
Tak usah risaulah, siapa menanam akan memetik buah. Semua toh harus dipertanggungjawabkan, kalau bukan sekarang.... nanti, kalau bukan diseberang sini....diseberang sana. Kalau bukan kepada rakyat.....ya kepada penguasa rakyat yang paling absolut/tinggi.
Heran aku liat orang2 suka makan uang rakyat tanpa hak
Indonesia memang paling suka yang busuk2 dan gak baik kayaknya ya...
kalo sudah hal yang buruk ato temuan yang gak baik...wuiiihhhh...ributnya minta ampun, demo sana-sini, protes kesana-kemari...
tapi klo hal2 yang putih, baik, tepat dan sesuai prosedur...kayakya cuman "auk, atuh..memang itu hak kita kan"
dan lagi disini pihak yang di sebut rakyat itu siapa?
apa hanya orang-orang yang tidak mampu,yang berkekurangan dan berada dibawah garis kemiskinan lah yang disebut rakyat (non pejabat/pegawai)?
coba tanya pada mereka, "pernakah saudara membayar pajak?"
"Jangan kan bayar pajak,pak..buat makan aja susah, mending uang pajaknya dimakan"...he3 :)
trus uang rakyat mana yang di ributkan?klo kenyataan malah kebanyakan rakyat yang ribut merasa haknya dimakan oleh pihak2 tertentu itu gak pernah bayar Pajak...
Apakah uang itu berupa bantuan2 subsidi pemerintah, yang disebut uang hak rakyat?
yach, intinya kembali pada diri masing2..."Gak smua yang loe dengar itu benar"
Post a Comment