Wednesday, July 25, 2007

Birokrat : Good Bye Golkar (?)

Elnino M. Husein Mohi
23 Jul 2006



Entah dimulai dari siapa, entah darimana, diskursus tentang `perceraian' antara Partai Golkar dan Birokrasi menyeruak di Gorontalo. Harian lokal terkemuka, Tribun Gorontalo bahkan menempatkannya sebagai isu utama yang sampai hari ini masih hangat diperbincangkan. Jelas, partai pemenang 53 persen suara pemilih Gorontalo di Pemilu 2004 itu sangat dirugikan.Gusnar Ismail, mantan Ketua DPD II Golkar Kota Gorontalo, terusik. Gusnar yang wakil gubernur itu menyatakan, "Kita (birokrat) tak boleh melupakan sejarah (bahwa birokrat itu Golkar)." (Tribun, 15/07/2006).

Artikel ini bukan untuk membantah Gusnar, bukan pula mendiskreditkan para oknum Golkar di daerah ini. Penulis hanya mencoba memberikan perkiraan seperti apa nanti nasib Partai Golkar Gorontalo ke depan.

LIMA KEKUATAN POLITIK

Ilmuan politik LIPI, Syamsudin Haris (2005) menyebut lima kekuatan politik yang berpengaruh dalam proses demokrasi: (1) Parpol, (2) Birokrasi, termasuk di dalamnya militer, (3) Ormas, termasuk di dalamnya para tokoh masyarakat, tokoh keluarga dan opinion leader lainnya, (4) Kaum intelektual, yakni para akademisi dan mahasiswa, (5) Media massa, yakni TV, Koran, radio, internet dan media luar ruang.

Di Indonesia, pasca Pemilu 2004, Lingkaran Survey Indonesia (LSI) mengambil kesimpulan bahwa yang paling berpengaruh dalam politik pemilihan, utamanya dalam Pilkada, berturut-turut adalah (1) Birokrasi, (2) Ormas atau para opinion leaders, (3) Media massa, utamanya koran harian, (4) Kaum intelektual, dan yang paling sedikit pengaruhnya adalah (5) Parpol. (Presentasi Direktur LSI, Moh. Qodary di Universitas Indonesia, 2005)

KONTEKS GORONTALO

Seperti di daerah-daerah lain, tampaknya kekuatan birokrasi di Gorontalo juga sampai saat ini menjadi kekuatan politik utama. Pemilu 2004 serta Pilkada di Pohuwato, Limboto dan Bone Bolango dapat menjadi bukti bagaimana birokrasi berperan penting.

Kemenangan Golkar (53%), 2004, tak lepas dari konsolidasi politik yang dilakukan oleh para birokrat, terutama di Kabupaten Gorontalo yang memiliki jumlah pemilih terbesar di provinsi ini.

Ketua Golkar Provinsi Gorontalo waktu itu, Ahmad Pakaya mengerahkan kekuatan birokrasi di kabupaten tersebut melalui tangan Sekda David Bobihoe demi memenangkan Golkar. Ini sulit dibantah. Bukankah ada camat yang tertangkap basah membagi-bagikan kaos Partai Golkar di masa kampanye kala itu?

Di Pilkada Pohuwato, seluruh pasangan cabup/cawabup ada unsur birokratnya. Di Pilkada Limboto, Sekda Bobihoe menang mutlak dari pasangan Partai Golkar-dan ini tak lepas dari peran hampir 200 kepala desa yang dikoordinir camat-camat. Di Bone Bolango, kalangan birokrat cukup setia kepada mantan Penjabat Bupati Ismet Mile, sang pemenang.

Khusus mengenai Partai Golkar, pemenang Pemilu 2004, tampak jelas sangat melemah setelah lepas dari polesan tangan Pakaya. Di Pohuwato, cabup/cawabup Partai Golkar kalah, di Limboto juga. Pohon Beringin tinggal berdiri di Bone Bolango, itu pun dalam posisi sebagai Wakil Bupati, bukan Bupati. Entah bagaimana dengan Pilkada Boalemo sekarang ini. Namun penulis yakin, pemenang Pilkada Boalemo adalah cabup/cawabup yang didukung oleh para birokrat di sana.Sebab, seperti kita bersama mengakui, Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki status sosial yang cukup berpengaruh. Seorang PNS menjadi referensi utama bagi keluarganya yang bukan PNS. Di saat yang bersamaan, PNS juga memiliki `garis komando'. Ketika pemimpin PNS (Gubernur/Bupati/Walikota atau para Sekda-nya) memberikan perintah (termasuk dalam persoalan politik Pemilu), maka segenap PNS dan keluarga mereka merujuk kepada perintah tersebut.

Di jalur lain, dalam ketiga Pilkada yang telah terlaksana, ikatan `ke-Golkar-an' meluntur, tampak dari sangat sedikitnya isu-isu yang mengarahkan agar `orang Golkar pilih cabup/cawabup dari Golkar'. Isu-isu utama kampanye Pilkada berputar-putar pada kredibilitas calon, kemampuan calon, money politics, dan penggunaan birokrasi (yang menurut aturan harusnya independen).

LEGISLATIF Vs. BIROKRASI

Waktu berlalu. Golkar sudah menduduki kursi terbanyak di seluruh DPRD se-Gorontalo. Apa yang terjadi kemudian? Sudah menjadi rahasia umum bahwa para (oknum) anggota DPRD seringkali mencampuri urusan-urusan eksekutif, terutama dalam menentukan perusahaan pelaksana proyek-proyek daerah. Entah siapa yang berdiri pada posisi yang benar atau ideal demi rakyat, yang pasti ada benturan kepentingan di sana, antara birokrat dan legislator.Para birokrat (Sekda, Kepala Dinas, Pimpro, Pengawas, dll) akhirnya seperti terbelenggu oleh dua tali pengikat; instruksi pemimpin daerah (Gubernur, Walikota, Bupati dan wakilnya) dan intervensi anggota dewan (kebanyakan lewat telepon). Para birokrat, jadinya, bangka-bangka dada, makan hati.

Ketika mereka mencoba menggolkan misinya, dua tali itu menariknya kesana-kemari. Terpaksa, dengan pasrah, mereka mengikuti perintah dan intervensi itu dengan sedapat mungkin tidak melanggar prosedur baku (atau pura-pura tidak melanggar prosedur). Padahal birokratlah yang nantinya bakal menerima konsekuensi hukum jika `ada apa-apa' dengan proyeknya. Birokratlah yang senantiasa menjadi kambing hitam, dan begitulah selalu adanya.

Kondisi ini meresahkan para birokrat. Di antara mereka ada yang melawan secara terbuka seperti yang dilakukan Kepala Dinas PU Kabupaten Gorontalo Haris Nadjamuddin di awal tahun 2006. Haris menyatakan siap mundur dari jabatannya mungkin karena merasa dizolimi oleh para anggota dewan. Tetapi lebih banyak birokrat yang menyerah kepada legislator, meski secara terpaksa alias tidak tulus alias dengan hati yang mendongkol.

GOLKAR Vs. BIROKRAT

Keadaan seperti ini tentu membahayakan bagi seluruh politisi anggota DPRD yang kerap mengintervensi para eksekutif. Para anggota DPRD menjadi tidak simpatik di mata birokrat-bisa jadi karena benturan kepentingan, bisa pula karena benturan hati nurani. Konsekuensinya, para birokrat pun jengah dengan partai-partai politik yang memiliki kursi di DPRD.

Pertanyaannya, partai mana yang paling dirugikan secara politis oleh munculnya antipati birokrat ini? Tentu saja partai mayoritas di DPRD, dan itu adalah Partai Golkar. Meskipun anggota DPRD dari partai-partai lain juga ikut `bermain proyek', Partai Golkar tetap saja menjadi `korban kecitraan'. Ya itu, karena dia mayoritas di dewan. Apalagi seluruh Ketua DPRD se-Gorontalo dipegang oleh orang Golkar. Citra DPRD, akhirnya, dianggap sebagai citra Partai Golkar.

Para pimpinan birokrat, terutama mereka yang seringkali bersentuhan dengan DPRD, mungkin dapat memilah dengan tepat siapa saja dan dari partai mana saja anggota DPRD yang suka intervensi proyek. Mereka juga dapat memahami ada anggota legislatif non-Golkar yang bekerja secara ideal, dan ada juga di antara mereka yang `lebih kuning dari Golkar' (lebih intervensionis dari orang Golkar). Tetapi dalam konteks pencitraan politik, Golkar-lah yang paling dirugikan. Rusaknya citra anggota dewan, terutama dari Partai Golkar, di mata para birokrat seperti ini sangat berbahaya bagi Partai Golkar pada Pilkada maupun Pemilu akan datang. Imej yang tercipta dalam kognisi para birokrat sangat memungkinkan mereka berkata "Good bye, Golkar" meski hanya dalam hati.

MISI GOLKAR KEDEPAN

Apa yang harus dilakukan oleh Partai Golkar untuk mengatasi persoalan ini? Ada tiga alternatif cara. Pertama, partai Beringin ini harus memaksa seluruh anggotanya bekerja secara ideal demi kepentingan masyarakat dan tidak bermain proyek. Setiap anggota Partai Golkar yang kedapatan melakukan pelanggaran mesti diberikan sanksi `recall' dari pimpinan partai.

Kedua, menciptakan `citra' di mata para birokrat bahwa anggota DPRD dari Golkar benar-benar bekerja ideal. Maksudnya, meski orang Golkar bermain proyek, para birokrat tetap meyakini bahwa orang Golkar tetap ideal. Ini sulit dilakukan karena bagaimana pun juga `permainan proyek' tetap harus melibatkan birokrat.

Ketiga, menciptakan citra bahwa partai lain jauh lebih buruk dari Partai Golkar, bahwa orang Golkar masih mendingan dari orang partai lain. Ini mudah dilakukan bila di antara anggota DPRD non-Golkar ada yang bermain proyek. Cara ini telah dilakukan oleh Partai Golkar di tingkat nasional (DPR RI), yakni dengan keluarnya sanksi bagi Aziddin (anggota DPR dari Partai Demokrat) dari Badan Kehormatan DPR RI-sebuah badan yang diketuai oleh anggota DPR dari Partai Golkar.

Dengan cara ini, opini publik digiring untuk mendiskreditkan partai lain, bukan Partai Golkar, meski pun mungkin pada kenyataannya orang-orang Golkar `sama saja' dengan orang yang diberi sanksi.

Saya pribadi menyarankan agar Partai Golkar se-Gorontalo melakukan cara pertama, yakni bekerja secara ideal demi kepentingan rakyat. Sebab, efek pencitraan dengan cara tersebut juga sangat kuat karena yang dipersembahkan kepada publik bukanlah suatu `citra' belaka tetapi suatu `fakta'.

Dari sisi para birokrat sendiri, mereka lebih terpengaruh oleh fakta, bukan oleh citra-karena mereka tahu betul kenyataan yang ada. Lagipula, hampir seluruh PNS adalah mereka yang lumayan tingkat keterdidikannya. Birokrat bukan orang bodoh yang mudah dipengaruhi oleh `citra'. Artinya, jika orang Golkar lebih mementingkan pencitraan daripada fakta untuk meraup simpati kalangan birokrat (yang sangat kuat secara politis itu), maka hampir bisa dipastikan bahwa usaha itu akan gagal.###

No comments: