Monday, July 23, 2007

Kapan Gorontalo Seperti Bali?

Ani Sekarningsih
18 Des 2005



Lamunan minggu sore 18.12.05

Terwacanakan untuk menelisik benang merah yang menghubungkan aras peradaban dan budaya seluruh komponen bangsa Indonesia. Terwacanakan pula untuk menggali penyebab tidak berdayanya budaya dan peradaban Gorontalo/Indonesia Timur dalam memasuki era modernisasi. Padahal Bali yang memiliki sumber peradaban dan budaya murni Indonesia yang sama justru bisa tampil sedemikian rupa menawan hingga dikagumi dunia.

Secara subjektif penulis ketemukan tiga aras pokok yang mendasari laku budaya dan tata peradaban budaya asli Gorontalo. Yaitu : aras kesadaran ber-Tuhan (menyebut: EYA!!!), aras kesadaran semesta dan aras kesadaran keberadaban manusia.

Berdasar ketiga aras pokok tersebut maka laku budaya dan tata peradaban Gorontalo asli semestinya selalu memuat makna-makna sebagai panembah kepada Tuhan, persembahan kepada alam semesta dan mengekspresikan keberadaban umat manusia dalam tatanan budaya murni Gorontalo.

Namun demikian, dikarenakan terjadi perubahan aras agraris pedesaan ke aras industri perkotaan serta intensitas penyebaran agama impor telah memisahkan laku panembah kepada Tuhan atau EYA dari laku budaya dan tata peradaban masyarakat Gorontalo. Panembah kepada EYA/Tuhan dilaksanakan dengan ritual agama impor, sedang persembahan kepada alam semesta menjadi kegiatan seni budaya. Akibatnya laku budaya dan tata peradaban Gorontalo kehilangan kesakralan dan aras spiritualnya.

Pada masyarakat Bali, budaya dan peradabannya telah sedemikian bersinergi dengan ajaran agama Hindu Bali. Maka budaya dan peradaban Bali tetap utuh memiliki aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia. Budaya dan peradaban Bali tetap memiliki nuansa sakral dan kuat aras spiritualnya.


Masyarakat Bali juga memiliki sistem pembelajaran agama, budaya dan peradabannya yang intensif dari generasi ke generasi melalui banjar-banjar mereka. Maka Bali memiliki ketangguhan yang lebih dalam mempertahankan budaya dan peradaban aslinya. Selisik mendalam terhadap budaya dan peradaban asli masyarakat Indonesia yang lain, maka akan kita ketemukan tiga aras pokok yang sama. Dianggap primitif seperti apapun laku budaya dan peradaban asli sukubangsa-sukubangsa yang mendiami kepulauan Nusantara tetap memiliki aras sadar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia.

Ritual bersesaji dan membakar dupa dalam laku budaya dan peradaban asli sukubangsa-sukubangsa di Indonesia pada umumnya dianggap klenik dan bersekutu dengan makhluk gaib. Penilaian yang demikian merupakan sikap tidak adil dan kurang pendalaman nalar. Logikanya sangat sederhana, hanya makhluk manusia yang mampu mengoperasionalkan daya pikir, daya rasa pangrasa dan daya spirituilnya. Maka hanya manusia yang mampu memanfaatkan sesaji dan pembakaran dupa untuk kegiatan ritual sembah kepada Tuhan/EYA maupun sarana berkomunikasi dengan makhluk gaib ciptaan Tuhan. Kalau hewan sudah pasti tidak akan mampu melakukan itu. Maka dianggap seprimitif apapun bersesaji dan membakar dupa sesungguhnya menunjukkan tingkat keberadaban manusia.

Menunjukkan tingkat kesadaran manusia tentang keberadaannya di alam semesta yang tidak sendirian berada di muka bumi. Sadar bahwa Tuhan juga menciptakan makhluk-makhluk lain baik yang kasat mata maupun yang gaib. Maka manusia dengan semua daya yang dimiliki mampu menemukan tatacara berhubungan dengan titah ciptaan Tuhan yang lain tersebut. Adalah suatu tingkat peradaban masyarakat Nusantara asli yang menemukan tatacara bersesaji dan membakar dupa untuk keperluan ritualnya. Kenyataan menunjukkan bahwa ritual asli dengan sesaji dan dupa di Bali justru dikagumi masyarakat dunia.

Dengan bertolak bahwa seluruh budaya dan peradaban asli Nusantara memiliki aras ber-Tuhan, aras kesadaran semesta dan aras keberadaban manusia maka ketiga aras tersebut merupakan benang merah aras spiritual falsafah Nusantara.

Bhineka Tunggal Ika yang dinyatakan Empu Tantular memang benar adanya. Maka ketika benang merah kebersamaan aras spiritual budaya dan peradaban Indonesia sudah diketemukan, tinggal mewacanakan tatacara aktualisasinya. Ketika Bali menjadi tujuan wisata utama masyarakat dunia, maka artinya Bali telah mampu menundukkan hati nurani umat manusia sedunia dengan budaya dan peradabannya. Maka tugas seluruh komponen bangsa untuk menyetarakan Gorontalo, Papua mau pun daerah-daerah lain di Indonesia dengan Bali tersebut.

Tulisan ini kuturunkan karena gejala arabisasi semakim mencengkeram di bumi Nusantara ini. Mengapa bangsa ini tak percaya diri pada kekayaan budaya sendiri?

No comments: