Friday, August 10, 2007

Binthalo atau Hulawa

Rahman Dako
5 Sept 2006


Ada dua rencana Pemerintah Provinsi Gorontalo yang penulis amati belakangan ini saling bertolak belakang. Keduanya berhubungan dengan lingkungan dan kualitas hidup masyarakat Gorontalo. Pertama adalah gerakan untuk menggunakan biofuel (minyak nabati) yang diekstrak dari tanaman jarak pagar (Gorontalo: binthalo). Kedua adalah rencana untuk mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk memuluskan rencana menambang emas Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).

Respon pemerintah Provinsi Gorontalo terhadap gerakan nasional untuk mengganti bahan bakar dengan biofuel telah menggaung dengan disosialisasikannya Inpres Nomor 1 tahun 2006 tentang penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai bahan bakar alternatif (GP, 15/8). Pemerintah di mulai SBY sampai Pak Idris Rahim getol mengkampanyekannya di TV, radio dan koran-koran. Sedianya bahan bakar solar akan tergantikan oleh minyak binthalo seandainya rencana ini terwujud. Balitbangpedalda sedang giat-giatnya mempromosikan kompor berisi minyak binthalo untuk kebutuhan sehari-hari dan telah berhasil melakukan ujicoba pemakaiannya. Kendaraan bermotor tertentu dan motor tempel yang menggunakan solar akan memakai minyak ini.

Menurut Rustamrin Akuba, PhD (Kepala Balitbangpedalda Provinsi), untuk daerah Gorontalo telah tersedia lahan sekitar 6.000 hektar untuk penanaman tanaman binthalo. Penanaman ini akan diselaraskan dengan rencana pemerintah yang lainnya untuk rehabilitasi lahan kritis, pembabatan hutan, penyelamatan danau Limboto, penanggulangan banjir serta peningkatan pendapatan petani.

Balitbangpedalda memang cukup jeli menangkap program nasional ini. Sebagai daerah yang miskin PAD, pemerintah daerah senantiasa mencari peluang-peluang program yang sejalan dengan agenda pemerintah pusat untuk diaplikasi daerah. Tidak tanggung-tanggung, Balitbangpedalda juga telah menyiapkan dana ekstra dan menjamin untuk membeli biji tanaman jarak dari petani sambil menunggu ada investor yang mau menanamkan modal dalam usaha ini.

Di tingkat nasional, PERTAMINA menjamin akan membeli minyak dari hasil ekstrak ini sepanjang tidak melebihi harga minyak konvensional yang ada sekarang ini. Negara-negara kaya seperti Jepang, Uni Eropa dan kaki tangan ekonominya, World Bank dan ADB telah siap membeli penyerapan karbon dari hitungan biomass tanaman binthalo serta membeli pengurangan karbon beracun yang dihasilkan dari knalpot kendaraan bermotor. Lembaga-lembaga donor dan LSM internasional termasuk GTZ Jerman, Carbon and Energy Research, Yayasan Pelangi, dan lembaga ternama lainnya siap membantu petani dan pemerintah daerah untuk menyiapkan perencanaan sampai penjualan karbon tersebut.

Petani-petani akan diuntungkan dari penjualan biji binthalo dan hasil menjual karbon pertahun. Hasil hitung-hitungan penulis saat mengikuti Training of Trainer Clean Development Mechanism baru-baru ini menunjukkan bahwa hasil penjualan karbon dari 1.000 hektar lahan bisa menghasikan duit lebih dari 450 juta pertahun untuk dibagi oleh para petani pemilik lahan. Jumlah ini belum termasuk harga penjualan biji binthalo. Rencana ini adalah pertanda niat baik dari pemerintah kita dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan menuju kualitas hidup yang lebih baik dan kesejahteraan masyarakat.

Secara global, aplikasi Protokol Kyoto untuk mengurangi polusi udara ini sudah mulai terlihat, meskipun kental dengan perbedatan ideologi kapitalisme negara dunia dunia pertama dan negara-negara miskin di dunia ketiga. Di seluruh dunia, trend mengurangi pola hidup yang konsumtif dan destruktif mulai berubah ke pola yang lebih sehat, sederhana dan alami.

Rencana kedua yang cukup mencengangkan dan berbeda dengan rencana di atas adalah rencana Pemerintah untuk mensuport PT. Gorontalo Mineral untuk menambang di kawasan lindung Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Sebagaimana diketahui, perusahaan ini telah menandatangani CoW (Contract of Work) dengan pemerintah di dua lokasi di Kabupaten Bone Bolango. Hanya saja perusahaan ini tersandung oleh undang-undang Kehutanan yang tidak membolehkan penambangan di kawasan lindung.

Salah satu lokasi yang sangat menjanjikan adalah lokasi yang kita dikenal dengan nama Motomboto, lokasi dimana banyak penambang rakyat beroperasi disana. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Bone Bolango yang didukung oleh para politisi termasuk akademisi getol menyuarakan perubahan kawasan lindung Taman Nasional BNW untuk dikonversi menjadi areal tambang.

Cara yang ditawarkan adalah merubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Kedatangan Pak Zainudin Amali di daerah ini selain membawa kegembiraan untuk program gerakan penyelamatan danau Limboto, juga menyentil perlunya perubahan tata ruang dari kawasan lindung TNBNW menjadi kawasan pertambangan. BAPPEDA provinsi sedang menggodok bagaimana perubahan itu dilakukan.

Pemerintah Provinsi Gorontalo bersama dengan Lembaga Penelitian Universitas Negeri Gorontalo (Lemlit UNG) baru-baru ini melakukan workshop hasil penelitian pertambangan di Kabupaten Bone Bolango (GP, 9/8). Rekomendasi hasil penelitian yang dipimpin oleh Dr. Mahludin Baruwadi dari Lemlit UNG menegaskan bahwa perlu ada perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kawasan Taman Nasional BNW dan kegiatan ini memenuhi syarat dan layak untuk dikelola secara professional.

Para ”akademisi” ini cukup berani memberi rekomendasi dan data yang menurut penulis masih perlu dipertanyakan diantaranya tentang cakupan daerah penelitian yang hanya terbatas di Bone Bolango, prioritas penelitian yang lebih menekankan kepada aspek ekonomi, serta minimnya kajian mengenai aspek kehutanan dan lingkungan hidup. Untuk komprehensivitas dari penelitian ini seharusnya peneliti menjauhi pendekatan administratif pemerintahan dan menggunakan pendekatan ekologi.

Secara sosial ekonomi dan geografis, para peneliti tidak melibatkan korban banjir di Kota Gorontalo yang terkena dampak dari pembabatan hutan di kawasan TNBNW. Yang berbahaya adalah kutipan pernyataan-pernyataan hasil penelitian tersebut yang diantaranya dari eksekutif Kabupaten Bone Bolango yang menyatakan bahwa banjir yang terjadi di Kota Gorontalo bukan karena kerusakan hutan di TNBNW, walaupun kenyataannya banjir beberapa waktu lalu juga menghantam beberapa desa di Bone Bolango sendiri.

Para peneliti UNG juga menekankan bahwa kegiatan penambangan akan meningkatkan pelestarian budaya huyula di Gorontalo yang menurut penulis kurang masuk akal bila kita melihat realitas kapitalisme pertambangan emas di dunia selama ini. Juga tidak jelas teknologi apa yang disarankan para peneliti untuk meminimalisir dampak negatif pertambangan. Sebaiknya peneliti juga tidak menutup-nutupi realitas di lapangan dan kemungkinan terburuk bagi lingkungan dan masyarakat Gorontalo bila pertambangan terjadi. Terkesan bahwa hasil penelitian ini hampir menyerupai suara penjaga stan dari PT. Gorontalo Mineral yang ditemui penulis pada waktu melakukan pameran di UNG pada hari yang sama dengan pelaksanaan Workshop Hasil Pertambangan ini.

Tanpa menapikkan kemampuan akademis UNG sebagai kampus terbesar di daerah ini, penulis menyarankan kepada para pengambil kebijakan untuk berhati-hati menggunakan hasil penelitian ini sebelum segala sesuatunya menjadi bencana yang lebih dahsyat dari yang ada sekarang ini.

Bencana-bencana akibat pertambangan di belahan dunia lain menunjukkan ketidak hati-hatian pemerintah dalam mengambil kebijakan. Lumpur di Sidoarjo akibat penambangan PT. Lapindo Brantas belum bisa ditanggulangi sampai saat ini. PT. Newmont Minahasa Raya sampai sekarang masih berurusan dengan kasus pidana lingkungan hidup yang telah mengorbankan jiwa manusia. Newmont Mining Corporation juga ditentang masyarakat di belahan dunia yang lain Peru, Ghana, Guatemala, Australia, AS, dan Turki. Freeport McMoran di Papua tidak henti-hentinya bergejolak karena telah melenyapkan beberapa gunung, kasus penyogokan tentara, serta ketidakadilan pembagian hasil pertambangan. Di Philipina, perusahaan emas Plcer Dome dituntut karena telah membuang sampah hasil tambangnya ke sungai, laut dan terumbu karang. Di Papua New Guinea, kawasan hutan seluas 2.400 ha hancur oleh pertambangan emas perusahaan BHP Billiton. Harian The New York Times baru-baru ini melaporkan kampanye yang terus menerus dari aktivis lingkungan kepada pembeli emas di toko-toko emas terbesar di New York untuk tidak membeli emas dari hasil pertambangan yang merusak lingkungan dan menyebabkan penderitaan rakyat. Dari kajian penulis, setiap usaha pertambangan besar senantiasa menyebabkan luka bagi rakyat setempat, kerusakan lingkungan yang parah, sedangkan keuntungan yang sebesar-besarnya dibawa lari oleh perusahaan serta aparat pemerintah yang korup.

Sekarang tinggal kita tunggu apa langkah pemerintah selanjutnya. Perlu perencanaan yang matang serta langkah yang sangat hati-hati sebelum memutuskan apakah tambang layak atau tidak, apalagi di kawasan Taman Nasional. Tinggal pilih, mau binthalo atau hulawa. Penulis hanya mengingatkan bahwa sejarah emas telah menyebabkan penjajahan, penaklukan negara, kekerasan, pembunuhan, dan kebiadaban. Emas belum tentu menciptakan kesejahteraan, bisa jadi malah kesengsaraan. Kilauan yang mengelantung di leher, tangan dan telinga para sebagai simbol sosial kelompok berduit, merupakan hasil dari cucuran keringat, air mata dan darah rakyat jelata.

No comments: