Saturday, August 11, 2007

Kampanye Menyerang? Tidak Haram, Jika...

Elnino M. Husein Mohi
5 Nov 06



Kampanye Pilgub Gorontalo sebentar lagi. Tiga kandidat sudah menyiapkan senjatanya masing-masing. Kertas yang berisi visi, misi, program pemerintahan sampai ke slogan-slogan kampanye sudah bertumpuk di rumah dinas Gubernur Fadel, rumah Gusnar, rumah Thamrin Djafar, rumah AD Khaly, rumah Bonie Ointoe dan rumah Hamid Kuna.

Pertanyaannya, apakah visi, misi dan program akan mempengaruhi pilihan para pemilih? Dari berbagai penelitian Pilkada di negara ini, hal-hal tersebut kecil pengaruhnya. Masyarakat Indonesia lebih mempertimbangkan faktor kepribadian dari para calon. Misalnya; Siapakah calon yang relatif lebih dapat dipercaya? Siapa calon yang relatif lebih menyenangkan? Dan lain-lain.

Nah, bagaimana model kampanye yang boleh dilakukan untuk memenangkan hati rakyat? Bartels (1998) dan juga Jamieson (2003) merangkum tiga model kampanye yang berlaku hampir di seluruh dunia. Pertama, kampanye advokasi kandidat, yakni mengangkat tema-tema yang berupa kelebihan-kelebihan si kandidat. Pendekatannya bisa berupa restospective policy-satisfaction (memuji prestasi masa lalu kandidat) atau benevolent-leader appeals (menyatakan bahwa kandidat memang berniat baik, tulus, bisa dipercaya dan merasa selalu merupakan bagian dari para pemilih).

Kedua, kampanye menyerang (attacking campaign), yaitu yang berfokus pada kegagalan dan masa lalu dari kandidat lain. Bukan hanya contender (penantang) yang dapat menggunakan metode ini. Seorang incumbent (`juara bertahan') juga dapat melakukannya. Fadel Muhammad, misalnya, tentu dapat diserang oleh lawan-lawannya mengenai kebijakan-kebijakannya selama lima tahun jadi gubernur. Sebaliknya, Fadel pun dapat menyerang Bonie Ointoe mengenai kinerjanya sebagai Asisten II (Pembantu) Gubernur, atau menyerang Thamrin Djafar tentang apa yang sudah pernah dilakukan Thamrin untuk rakyat Gorontalo selama ini.

Ketiga, contrasting campaign (kampanye "hitam-putih"), yakni dengan mengangkat isu/topik tentang kelebihan `calon A' yang menjadi kekurangan `calon B'. Pendekatannya bisa ritualistic (mengikuti alur permainan lawan dan menyerang balik ketika diserang). Misalnya saja, Bonie menyatakan dirinya sebagai calon termuda, sesuatu yang tentu tidak mungkin dilakukan calon lain.

Fadel dapat mengaku lebih berpengalaman duduk di kursi gubernur ketimbang calon lain. Thamrin dapat menyatakan dirinya adalah satu-satunya calon yang sekolah S-2 di luar negeri. Isu/topik `putra daerah' tidak akan mempan dari sudut pandang ini, karena bukan hanya satu calon yang benar-benar memiliki marga (vam = nama keluarga) Gorontalo. Semua itu hanya sekadar contoh.

Pakar ilmu Komunikasi Politik Indonesia, Effendi Gazali (2005) mengatakan bahwa di Pilkada-Pilkada di Indonesia (kecuali di beberapa daerah) kampanye menyerang biasanya dianggap tabu karena tidak sesuai kultur dan para kandidat kuatir itu justru akan menguntungkan lawannya.

Padahal, yang terpenting sebetulnya bukan pada "menyerang atau tidak", tetapi pada "bagaimana caranya menyerang". Kalau serangan terhadap seorang kandidat dilengkapi dengan data-data yang akurat—bukan fitnah, dan disampaikan dengan sopan dan fair (atau `sportif' dalam bahasa kita sehari-hari), maka kampanye menyerang tersebut dapat efektif menjaring simpati pemilih.

Sebaliknya, pihak yang diserang dengan data-data yang akurat harus secepat mungkin mengklarifikasinya. Tentu dengan data-data yang akurat pula, bukan dengan kata-kata, "biarlah anjing menggonggong, kafilah berlalu". Selanjutnya, dia dapat menyerang saingan politiknya dengan isu/topik yang lain.

Kampanye menyerang dapat berubah menjadi negative campaign (ada yang menggunakan istilah black campaign / "kampanye hitam") apabila serangan itu kasar (berselera rendah, menyentuh aspek-aspek yang sangat pribadi, tidak ada hubungannya dengan kemampuan memerintah) dan atau data-datanya tidak akurat, fitnah, dan atau tidak fair (tidak ada bukti, disampaikan dengan cara yang tidak sopan menurut standar budaya masyarakat). Patut dicatat, negative campaign inilah yang justru bisa menjadi `blunder' atau malah menguntungkan pihak yang diserang.

Sedikit lebih empirik, `hal-hal yang sangat pribadi' yang bagaimana yang tidak etis untuk dijadikan isu dalam persaingan politik? Ini adalah perdebatan dalam bidang etika yang mungkin tidak akan habis. Tetapi menurut saya, `aspek-aspek yang sangat pribadi' itu adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dimana dia tidak punya kekuasaan untuk menghindarinya, seperti; cacat fisik, penyakit-penyakit fisik kandidat (termasuk impotensi), keturunan PKI atau bukan, dll. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan keharmonisan kehidupan keluarga, keberagamaan (akhlak) dan perilaku dari orang-orang dekatnya (famili dan atau para sahabatnya) masih dapat ditolerir menjadi tema-tema kampanye sepanjang tidak berupa fitnah.

Kembali kepada tema utama kita mengenai kampanye menyerang. Dalam konteks Pilkada-Pilkada di Indonesia, semakin sulit membedakan antara kampanye menyerang dengan kampanye negatif. Mengapa? Karena pasti akan terjadi pula perdebatan sengit mengenai akurasi data yang dipakai untuk menyerang atau bertahan.

Karena itu Gazali menawarkan model keempat, yakni comparative campaign, kampanye dalam bentuk memperbandingkan kelebihan di antara kandidat atau kekurangan di antara kandidat. Model ini mungkin yang paling cocok bagi Indonesia, termasuk Gorontalo. Jika mengikuti model ini, maka hal yang paling penting adalah adanya DEBAT antara para kandidat.

Dalam debat ini masyarakat dapat menilai, setidaknya, tiga hal. Pertama, program kandidat mana yang lebih menguntungkan bagi dirinya sebagai rakyat. Kedua, kandidat mana yang lebih dapat dipercaya janjinya. Ketiga, kandidat mana yang paling menyenangkan.

Dalam debat itu pula harus ada saling kritis terhadap sesama kandidat. Kalau tidak ada kritik-mengkritik, ya bukan debat namanya. Pertanyaan-pertanyaan mesti diarahkan oleh moderator debat agar yang terjadi adalah perdebatan yang logis (masuk akal) dan segar, bukan debat kusir yang memuakkan. Bagi para kandidat, yang penting dalam debat—biasanya—bukan pada substansi yang dipakai untuk mengkritik atau menjawab kritik, tetapi pada cara mengkritik dan cara menjawab kritik. Dalam kalimat Effendi Gazali; "How elegant can you go ?".

Akhirnya, saya berharap masyarakat pemilih di Gorontalo semakin kritis dan menggunakan akal sehatnya dalam menentukan pilihan. Visi, misi, program, kepribadian dan cara para calon gubernur dalam berkampanye hendaknya menjadi pertimbangan-pertimbangan utama agar kelak yang terpilih adalah Gubernur yang terbaik di antara tiga calon yang ada.*

1 comment:

Anonymous said...

--------------------------
°°°°°°°°°°°°|\ I
°°°°°°°°°°°°|_\
°°°°°°°°°°°°|__\
°°°°°°°°°°°°|___\
°°°°°°°°°°°°|____\
°°°°° °°°°°°°|_____\
°°°°°°°°°°°°|______\
°°°°°°______|_______________
~~~~\ ____________________/~~~~
,.-~*´¨¯¨`*•~-.¸,.-~*´¨¯¨`*•~-.¸,.-~*´¨¯¨`*•~-.¸,.-~* ¯´¨ ¨`*•~-.¸.. ....