Saturday, August 11, 2007

Jangan Tinggalkan Budaya Sendiri

Ani Sekarningsih
17 Nov 06


Berapa penduduk Gorontalo? Benarkah 800.000 orangkah? Sejauh apakah orang-orang Gorontalo memahami kebudayaanranahnya sendiri? Sejauh apakah negara-negara mancanegara terjaring menjadi wisatawan ke Gorontalo?

Aku ingin cerita aja, nih.
Pada Media Indonesia 12 Nopember yang baru saja berlalu aku menuliskan tentang hebatnya Asmat yang kini diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai SITUS WARISAN BUDAYA, padahal penduduk Asmat hanya 60.000 orang saja. Karena apa?

Karena perjuangan yang tak kenal lelah dari seorang putera Asmat bernama Yufen Biakai, yang sekarang menjabat Bupati Asmat.

Semasa Yufen masih menjabat Ketua Lembaga Masyarakat Adat Asmat, beliau selalu memikirkan pembangunan manusia Asmat yang harus utuh berdiri tegak dan kokoh di atas landasan budaya Asmat yang mereka warisi. Menurutnya, selama seseorang berdiri kokoh dengan budaya yang membesarkannya maka seseorang itu tak tergoncangkan gegar budaya, melainkan ia lebih mengenali jati dirinya dengan sesungguhnya. Itu sebabnya rasa percaya diri orang Asmat sangat tinggi adanya.

Yufen tidak sekedar berbicara, dan mengajari. Tetapi ia buktikan kekuatan dirinya demi untuk memotivasi segenap orang Asmat. Bila saat ini kita mengenali Yufentius Biakai sebagai Bupati Asmat, dapat dipastikan hanya sedikit orang yang mengenali nama Yufentius Biakai yang telah menjadi milik dunia karena tulisan-tulisannya yang memperkenalkan budaya Asmat dalam dua buku unggulan yang dibanggakan. “ASMAT, Myth and Ritual The Inspiration of Art” dan “ASMAT, Mencerap Kehidupan dalam seni” yang juga diterjemahkan dalam bahasa Jerman dan Inggris dan diterbitkan oleh B. Kühlen Verlag GmbH Jerman. Kedua buku unggulan tersebut merupakan data-data anthropologi Asmat termasuk di dalamnya uraian filsafat tentang patung-patung tradisional.

Adakah para bupati lain di Republik Indonesia ini mampu menuliskan adat budaya setempat dalam bahasa Inggris yang sempurna sebagaimana yang telah dibikin seorang putera Asmat?

Perlu diketahui keberadaan budaya Asmat menjadi bagian dari milik dunia. Anda akan temukan seni ukir Asmat yang anggun-anggun di musium-musium bergengsi di Metropolitan Museum New York, Tropen Museum di Amsterdam, Volkerkunde Museum di Roterdam, Völkerkundemuseum di Berlin, dan koleksi terlengkap milik Dr Gunther Konrad dan istrinya Ursula di Mönchengladbach di Jerman. Dunia tidak mengenal keberadaan Papua, tetapi dunia lebih mengenali Asmat.

Pesta Budaya Asmat ke-23 yang baru saja berakhir pada tanggal 11 Oktober 2006, dan sempat kuhadiri, cukup membanggakan. Dihadiri banyak orang asing. Satu bukti lagi Asmat telah membuktikan diri, bahwa tatkala Amarika mengumumkan para turis tak boleh memasuki Indonesia, apalagi Papua, justru Yufen membuktikan bahwa orang Asmat hangat menyambut mereka dan menjamin keamanan para turis asing tersebut.

Sedikit tambahan lagi. Selama pesta budaya berlangsung seorang wisatawan Jerman bernama Dr Gunter Konrad , seorang urolog, melangsungkan pembedahan-pembedahan pada pasien-pasien orang Asmat SECARA GRATIS. Adakah dokter-dokter ahli di antara kita terketuk hatinya untuk berbuat amal seperti dokter Jerman itu?

Bagaimana halnya dengan Gorontalo?

Padahal Gorontalo memiliki pantai indah. Gorontalo memiliki benteng-benteng yang dapat dijadikan objek wisata. Gorontalo mempunyai seni kerawang kait, yang saingannya hanya sebuah desa nelayan Portofino di Itali. Gorontalo banyak menyimpan adat budaya ASLI GORONTAL. Tetapi adakah kapal-kapal pesiar orang asing berminat datang singgah? Adakah yang menuliskan dan berpikir mengisi artefak=artefak Asmat di musium-musium bergengsi di dunia? Sebagaimana Asmat lakukan?

Wahai Anak Muda Gorontalo yang cerdas-cerdas, di tangan Anda semua budaya Gorontalo menantikan uluran tangan kalian untuk mendokumentasikan kekayaan BUDAYA GORONTALO tersebut, dan mengisi semua museum di dunia.

Kita tidak lagi hanya berpikir dalam kotak-kotak kecil, tetapi kita harus berpikir bahwa kita adalah WARGA PLANET BUMI yang bertanggung jawab memelihara planet ini dengan budaya yang memang kita akrabi. Dengan budaya sendiri justru kita mampu memahami bahasa alam semsta.

Kawan, ada contoh besar lewat depan mata melalui media cetak maupun media kaca. Yakni peristiwa LAPINDO. Mengapa alam meradang merontak?
30 atau 50 tahun lalu, kita masih melihat orang menghormat padi yang akan dipotong dan para PEREMPUAN SAJA yang memotong padi dan dengan dengan ani-ani pula. Bagaimana sekarang? Begitu padi menguning orang main babat dan kasar dan para lelaki ikut membabatnya, tanpa permisi MINTA KEIKHLASAN padi sebagai mahluk, apalagi menghormati tanah yang subur dan begitu ramah menghidupkan semua tetumbuhan buat keperluan manusia. Tanah pun adalah mahluk. Tandai, bagaimana alam tidak akan semakin murka? Sekarang bangsa Indonesia sampai harus mengimpor padi dari Vietnam, bahkan Amerika Serikat.

Mungkin Anda sedang mencibir pikiranku ini. Tnamun saatnya kita semua perlu bermawas diri, perlu HENING. karena para teknolog rupanya sudah semakin tuli, semakin rabun matanya untuk memahami bahasa alam. Hatinya juga menjadi tumpul untuk memahami kearifan-kearifan budaya yang dilahirkan leluhur kita.

Dengan contoh Yufen di atas aku ingin mengatakan, sebagai manusia berpikir, hendaknya kita berbuat yang produktif berlandaskan kekuatan budaya jati diri kita.

No comments: