Saturday, August 11, 2007

Merajut Takdir Kekinian

Ani Sekarningsih
24 Nov 06


Sangat singkat WAKTU dalam akal manusia, tatkala langkahku menapaki tepian danau Limboto, sore 19 Nopember 2006. Begitu indahnya kupaku lanskap seputar Hutadaa dalam kameraku. Namun ketika aku kembali berada di tengah kumpulan manusia aku tak melihat lagi indahnya akan manusia-manusia di manapun aku menengokkan kepala.

Tidak.

Bagaikan dengung tawon banyak orang mengajukan tanya:"Bagaimanakah bentuk negara kita kelak, Bu?" Nanar aku melihat ke dalam mata si penanya. Lalu kupalingkan mataku pada langit biru kelam dimana awan gemawan menari terbang leluasa dengan damainya. Pertanyaan itu menusukkan sembilu yang pedih. Membayangkan takdir cucuku.

Tuhan telah menyusun rangkaian takdir yang apik bagi alam semesta ini. Planet-planet bergulir menurut sistem yang tertib, matahari masih terbit di Timur dan lenggelam di Barat. Musim masih bergulir sesuai waktunya. Bumi yang kita pijak masih bisa ditanami padi, dan gerumbulan ternak masih bisa merumput, serta segala jenis tetumbuhan masih bisa tumbuh subur. Airpun mengalir menghidupkan mahluk-mahluk laut, sungai dan danau. Bumi ini masih menyimpan kekayaan lain: minyak, mas, berlian, gas, uranium. Maka takdir-takdir yang telah disiapkan Tuhan adalah jelas merupakan perbekalan anak manusia untuk menyusun takdir masa depan bagi dirinya.

Fisik manusia dan tingkah [olanya adalah takdir bagi planet bumi.

"Mau lihat masa depan planet atau bangsa ini kelak? Cermati kondisi perkembangan budaya manusia hari ini. Maka itulah masa depan bangsa ini. Semakin AMBURADUL. Mengapa? Karena hampir semua orang tak tahu merajut takdirnya dengan budi luhung. Budaya kita hidup selalu dalam mimpi masa silam. Mari kita tengok keluhan orang banyak. Semasa pemerintahan Bung Karno orang banyak mengeluh: "Alangkah enaknya hidup dizaman "normal" (maksudnya zaman penjajahan Belanda). Kemudian saat Suharto memerintah, orangpun memakinya: "Enakan ketika zaman pemerintahan Sukarno" Lalu kini kita berada pada zaman SBY, orang pun masih berkeluh kesah: “Wahai, ternyata enakan dizaman Suharto ya, daripada zaman SBY."jawabku kering.

Si penanya tercenung.

"Kawan, kita lupa zaman silam hanyalah kenangan yang tak pernah akan kita singgahi kembali. Masa depan adalah tujuan langkah kita bersama. Tetapi budaya yang tertanam tak membiasakan kita untuk hidup dalam masa kini, detik dan jam saat ini. Kita tak terbiasa merencanakan pola takdir masa depan diri sendiri pada saat ini, apalagi masa depan kelompok yang nota bene adalah masa depan takdir bangsa dan negara ini."

Kuambil kameraku, dan aku merasa lebih tentram merekam keindahan takdir-takdir yang telah diciptakanNya dalam rekaman gambar-gambar saat ini....

No comments: