Wednesday, July 25, 2007

Berita Koran dan Politik Koprol

Elnino M. Husein Mohi
6 Agt 2006



Semakin kerap membaca berita-berita politik di Gorontalo Post, Tribun Gorontalo dan media-media cetak lain di Gorontalo, semakin tidak menarik berita-berita itu bagi sebagian orang. Sebab, hampir di setiap terbitannya, berita politik di koran-koran harian maupun mingguandaerah ini lebih banyak yang berbau "koprol".

Istilah "koprol" saya kenal ketika rombongan Pramuka Gorontalo mampir di Asrama Salemba Jakarta sepulang dari mengikuti Jambore Nasional di Jawa Barat. "Koprol" merujuk kepada suatu tindakan untuk memuji-muji seseorang agar mendapatkan sesuatu dari orang tersebut. Ya, kira-kira semacam teknik persuasi terselubung untuk menggolkan kepentingan pribadi maupun kelompok.

Nah, berita-berita politik di media cetak Gorontalo oleh sebagian orang itu dianggap seluruhnya sebagai "koprol" belaka. Contohnya, berita tentang pernyataan seorang Ketua LSM yang inti pesannya adalah"seluruh pengurus dan anggota LSM tersebut dipastikan mendukung Bonnie Ointoe menjadi wakil gubernur". Contoh lain adalah dukungan aktifis mahasiswa untuk mempertahankan Gusnar Ismail sebagai Wagub.

Berita-berita seperti itumemiliki warna yang cukup menonjol di koran-koran kita. Setiap hari, bahkan. Si A dukung calon Z, si Bdukung calon Y, si C dukung calon X. Lengkap dengan alasannya masing-masing. Alasan yang kerap (juga) sangat tidak argumentatif. Lalu bagaimana cara khalayak pembaca koran `membaca' berita-beritaseperti itu? "Itu bo koprol saja…. Uwodito ta'u he pe' tapu?" begitu mereka membacanya.

Bilamana ada berita berjudul "si A dukung calon Z", misalnya, pembaca akan memaknainya sebagai "si A bikin pernyataan dikoran mendukung si Z agar dia diberi (atau karena sudah diberi) proyekoleh si Z". Ya, semudah itu!

EFEK BERITA POLITIK

Teori dasar tentang efek suatu pesan dalam komunikasi atau suatu berita media massa menyebutkan bahwa sebuah berita memiliki empat tingkatan efek terhadap audiens; awareness (perhatian), interest (ketertarikan), desire (keinginan) dan action (aksi). Berita terjelek tentu saja tidak memiliki efek apa-apa terhadap target audiensnya. Ada berita yang sekadar diperhatikan oleh pembacanya. Si pembaca hanya melihat judul berita, lalu berpikir, "Ooh, begitu", lalu mengalihkan perhatian ke judul yang lain.

Berita yang lebih baik, bila pembacanya tertarik membaca isinya untuk menjawab pertanyaan apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana. Setelah itu baru dia berpikir, "Ooh,begitu". Berita yang lebih bagus lagi bila setelah membaca penuh beritanya, pembaca akan memberikan respon emotifnya. Berita itu membuatnya sedih, senang, marah sehingga muncul keinginan untuk melakukan sesuatu—walaupun kemudian itu tidak dilakukannya.

Berita yang terbaik adalah berita yang mampu membuat audiensnya melakukan sesuatu. Biasanya berita jenis ini mengena langsung ke aspek emosional maupun kognisi pembaca. Misalnya saja berita tentang korban bencana yang membuat pembaca datang ke bank dan menyumbangkan sebagian hartanya untuk korban bencana.

Pertanyaannya, sejauh mana "berita koprol politik" mempengaruhi pembacanya? Dari berbagai penelitian media di Indonesia, sebagian besar pembaca koran lebih tertarik terhadap isu-isu yang dirasakan berkaitan langsung dengan hidupnya, seperti isu tentang wabah penyakit di daerahnya, kriminalitas di daerahnya, topik tentang olahraga dan juga infotainment. Berita politik tidak menjadi prioritas pembaca kecuali jika berita politik itu berkaitan dengan isu-isu di atas. Pendek kata, berita politik tidak begitu `laku' di sebagian besar masyarakat, sebab hanya sedikit orang yang melek politik dan memberikan perhatian terhadap politik.

Perkiraan saya, di Gorontalo tidak lebih dari seribu orang yang membeli koran untuk mengonsumsi berita politik. Lebih banyak yang membeli koran karena berita tentangPersigo, pembunuhan sadis, bencana, atau kerusuhan. (Ini butuh penelitian kuantitatif untuk membuktikannya).

Selanjutnya, dari seribu orang pembaca berita politik itu, berapa orang yang terpengaruh oleh isi berita? Kira-kira lebih banyak yang hanya sampai pada tahap `memperhatikan' (tahap I). Sedikit yang`tertarik' (tahap II), lebih sedikit lagi yang `berkeinginan melakukan tindakan politik' (tahap III), dan lebih sedikit lagi yang`benar-benar melakukan tindakan politik' (tahap IV) karena berita itu.

Contohnya adalah berita tentang konflik wacana antara Mansir Mudeng(Tim Sukses David Bobihoe) dan Thomas Mopili (TS Sun Biki) pada Pilkada Limboto tahun lalu. Hari ini pernyataan Mudeng, besok pernyataan Mopili, besoknya lagi balasan Mudeng, besoknya lagi tanggapan Thomas, dan seterusnya. Siapa yang dipengaruhi oleh rangkaian berita tersebut? Yang pasti Thomas dan Mansir (dan kelompok mereka masing-masing) saja yang sampai pada tahap IV. Ratusan orang lain hanya sampai pada tahap`memperhatikan' dan hanya puluhan saja yang sampai pada tahap `tertarik'.

Berita-berita politik yang belakangan ini menonjol warna "koprol"nya juga hanya diperhatikan oleh ratusan orang dan hanya puluhan orang saja yang tertarik oleh isi berita. Kalau si kandidat politik "Z" berharap berita yang memuji-muji dirinya akan mempengaruhi khalayak ramai, dia salah besar. Sebab, seperti diurai di awal tulisan ini, berita-berita koprol akan dimaknai pembaca sebagai, "si A bikin pernyataan di koran mendukung si Z agar dia diberi (atau karena sudah diberi) proyek oleh si Z".

Itu kontraproduktif terhadap pencitraan si kandidat Z. Ditambah lagi, kredibilitas si A (sumber berita) yang kurang baik di lingkungannya akan ikut merusak kredibilitas si calon Z. Lalu bagaimana seorang kandidat dapat memanfaatkan media cetak untuk mendongkrak popularitas dirinya? Terlalu panjang untuk diuraikan disini. Tetapi si kandidat dapat menanyakannya kepada Fadel Muhammad, karena sejak dulu sepertinya Fadel paham betul teknik pencitraan lewat media.

KREDIBILITAS KORAN

Isi berita, pasti, ikut mempengaruhi kredibilitas media. Setiap media, sengaja atau tidak, memiliki agenda setting sendiri dalam setiap isu. Media (baca: Pemred) punya tujuan dalam setiap isu yang diangkatnya. Bila media ingin pembacanya menyumbang untuk korban bencana, misalnya, maka dia akan setiap hari mengulas tentang kesulitan hidup para korban. Itu satu contoh.

Dalam konteks Pilkada Gubernur Gorontalo, seperti apakah agenda setting media cetak daerah ini? Apakah agenda setting itu dipengaruhi kuat oleh seorang atau sekelompok politikus daerah? Ataukah media tetap berdiri tepat di posisi yang pro pendidikan politik rakyat?Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab oleh para pemimpin redaksi. Setiap Pemred mesti dapat menjelaskan kepada pembacanya secara terbuka, terutama dalam kolom-kolom seperti "Tajuk Rencana","Sikap Kami", "Editorial", atau semacamnya.

Koran juga memiliki hak untuk menapis sumber-sumber beritanya, disamping menapis isi berita. Sebab, kredibilitas sumber berita juga mempengaruhi kredibilitas koran. Sebagus apa pun pernyataan dalam berita, tidak akan berpengaruh positif jika si pemberi pernyataan adalah orang yang tidak kredibel di lingkungannya.Untuk melakukan penapisan itu, media-media cetak dapat mengurangi porsi talk news dalam wilayah politik. Talk news adalah berita berupa pernyataan seseorang. Alangkah baiknya bila berita-berita politik itu dikemas dalam bentuk ulasan lengkap, bukan sekadar pernyataan. Kalaupun harus membuat talk news, media harus menapis sumber-sumber beritanya.

Sebagai penutup, saya ingin membuka kisah ini. Seminggu yang lalu, saya menerima SMS yang isinya, "Elnino, apakah koran-koran ini punyaFadel?". Dua hari kemudian ada SMS dari nomor yang berbeda, "Kamu dikasih berapa sama Bonny?". Kemarin (Sabtu, 5 Agt) seorang pendukung Gusnar (begitu dia mengaku) menelpon saya sembari mencak-mencak,"Ternyata tidak ada lagi wartawan independen."

Mengapa mereka (seluruhnya politikus) bersikap seperti itu? Ya karenabanyaknya berita "koprol politik" yang dianggap merugikan. Saya hanya menjawab mereka dengan kalimat, "Yang menilai independensi koran adalah seluruh pembacanya. Politisi menganggap koran independen hanya kalau sesuai dengan kepentingannya."###

1 comment:

Jamil Massa said...

menyesakkan benar kondisi media dan khalayak konsumen media di daerah kelahiran saya ini. seharusnya isu semacam ini ditanggapi oleh para akademisi bidang komunikasi, jurnalistik maupun politik di Gorontalo. jangan hanya beronani intelektual di kampus saja, tapi turun langsunglah ke masyarakat untuk memberikan referensi dan koreksi. fungsi pengawasan dan social kontrol bukan hanya milik media, tetapi juga adalah tanggung jawab akademisi. apalagi, di tengah kondisi krisis kepercayaan terhadap media seperti yang tengah terjadi di Gorontalo saat ini.