Wednesday, July 25, 2007

Gubernur Pilihan Kita : Adakah?

Funco Tanipu
Dinukil saat Merapi mulai memuntahkan awan panasnya; 8 Juni 2006


Rajut wacana yang lahir di milis ini tentang Gubernur Idola menurut saya sangat menarik. Menarik karena semua peserta rupanya punya idola masing-masing tentang siapa yang "seharusnya" memimpin Gorontalo. Banyak bertabur nama di altar milis ini. Semua dalam kategori yang ideal atau menurut kehendak sendiri.

Kenapa saya katakan menurut kehendak sendiri? Bukan pada kehendak orang banyak? Sebab, pengutaraan sikap lebih banyak didominasi oleh rasa kita yang subyektif atau tidak memiliki standar obyektif yang menggunakan prinsip-prinsip yang representatif. Kehendak sendiri pun lebih banyak dipicu oleh"kedekatan", "ketidaksukaan", "kegeraman" dan "kepentingan". Dari keempat prinsip "atas nama kehendak sendiri" inilah banyak yang merumuskan siapa Gubernur Idola Gorontalo.

Bagi saya yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita merumuskan sebuah formula demokrasi yang tepat bagi Gorontalo. Artinya, formula penjaringan Gubernur jangan saja diletakkan di pundak elit, seperti yang selama ini terjadi. Atau di pundak mereka yang bisa "bersuara", seperti diungkap Gayatri C. Spivak dalam Can The Subaltern Speak.

Seperti apakah formula yang minimal bisa mewakili suara mereka yang selama ini tidak bisa bersuara atau dimatikan suaranya? Saya mengandai sekiranya tanah kita punya seseorang yang memiliki suara yang representatif, maka sepertinya tidak perlu lagi adanya PILGUB. Tetapi, itu sebuah pengandaian yang tidak mungkin terjadi.

Seperti yang baru lalu terjadi, wacana tentang Penunjukkan Langsung terhadap Gubernur adalah hal yang tidak pas bagi saya. Bukankah masih banyak stok kader yang mau bertarung di arena Pilgub kita? Saya hanya bisa heran dengan sikap elit partai politik yang selama ini membatasi diri dengan calon yang menurut kehendak sendiri. Saya bisa mengerti bahwa syarat menjadi calon Gubernur tidak saja memiliki kualitas berfikir, bermotivasi tinggi, memiliki visi yang cerdas dan juga memiliki kekuatan fisik, spiritual dan materi yang mumpuni.

Tetapi sampai sejauh mana mekanisme penjaringan calon Gubernur dapat menyentuh konstituen? Dimanakah peran konstituen ketika memasuki pencalonan Gubernur? Apakah ada partai yang melakukan penjaringan mulai dari tingkat bawah? Mengapa masih ada peniadaan suara seperti yang terjadi selama ini?

Taburan nama seperti Arusdin Bone, R. Dako, Amanda Katili dan lain-lain bagi saya adalah menarik sekaligus tidak menarik. Menariknya, pertama, kita sudah menyiapkan generasi selanjutnya pemimpin Gorontalo dengan menimbang-nimbangnya melalui media. Kedua, menarik pula untuk dipertontonkan bahwa ada juga stok yangberkualitas. Ketiga, menarik pula untuk dijadikan bahan perbandingan rakyat dalam memilih Gubernur nanti. Maka, karena ia sebagai bagiandari proses pencerahan perlu untuk kita apresiasi bersama.

Tetapi menjadi tidak menarik ketika, pertama, nama-nama yang ditabur tadi menjadi bola liar yang akan dipermainkan seperti "mainan" oleh elit politik dan malah dijadikan hiburan politik di kala suntuk setelah habis "berkoprol". Kedua, menjadi tidak menarik ketika mereka yang menabur nama-nama ini tidak membuat gerakan politik yang nantinya menjadi landasan "bermain" calon alternatif ini. Misalnya, menawarkan calon ini kepada partai politik yang ada di DPRD atau non DPRD dengan jalan menggalang koalisi taktis dengan mengusung isu-isu pemersatu koalisi. Di samping itu, juga melakukan penggalangan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat untuk memperkuat opini calon alternatif ini.

Yang terakhir, menggalang dukungan dana dari founding yang memiliki kepentingan terhadap Pilgub kita ini. Membuat gerakan politik yang elegan menurut saya adalah langkah bertanggung jawab dibanding kita secara sembarang menabur nama-nama tanpa menghitung efek politis yang lahir dari langkah kita ini.

Terakhir, Pilgub ini tidak saja perlu kita isi dengan bermain-main nama calon Gubernur Idola Kita. Tetapi juga melakukan pendidikan politik seperti Voters Education, Kampanye Politik Damai, Dialog Antar Kandidat yang akhirnya akan mencerahkan masyarakat kita. Di samping itu pula harus dilakukan adanya manajemen yang terarah, terkontrol, sistematis dan transparan serta akuntabel terhadap sistem pemilihan Gubernur kita. Mulai dari pendaftaran, pengecekan kesehatan calon, debat kandidat, pengawasan keuangan yang ketat, pengawasan kampanye, distribusi logistik pemilu, pendataan pemilih, pemantauan pemilihan, dan evaluasi pemilihan. Agar kesalahan kita di Pemilu 2004 tidak terulang lagi. Saya rasa puluhan orang yang tergabung di milis ini masih menyisakan nuraninya untuk memikirkan seperti apa Pilgub kita nanti, apakah akan mengakhiri dengan bahagia atau air mata?

1 comment:

Dadang Subiakto said...

memang memerlukan proses atau perjalanan untuk menuju demokrasi ...tetapi perlu diawali langkah untuk menuju demokrasi yang baik dan bagus...