Monday, July 23, 2007

Happy Birthday Provinsiku yang Cantik, Semoga Lekas Sembuh

Elnino M Husein Mohi
16 Feb 2006



Kamis, 16 Februari hari ini Provinsi Gorontalo lepas dari status Balita. Banyak hal yang berubah, baik yang ke arah positif maupun ke arah negatif. Prestasi dan reputasi para pemimpin daerah ikut ditanggapi seiring dengan perubahan yang tersebut. Dia bisa positif bisa juga negatif, tergantung pada paradigma metodologis yang dianut si penilai. Apalagi, sudut pikir para (mantan) pejuang pendirian provinsi Gorontalo sangat mungkin akan berbeda secara prinsipil dengan sudut pikir para pejabat provinsi. Bahkan perbedaan pendapat juga bisa terjadi antar sesama pejuang pembentukan provinsi dan antar sesama pejabat provinsi.

Setelah lima tahun penuh, Gorontalo hari ini dipandang kagum oleh banyak orang Indonesia. Performens Gubernur Fadel dianggap sebagai `data' yang representatif untuk menilai Gorontalo. Ditambah lagi kemampuan Walikota Medi, Bupati Bokings dan Bupati David yang mumpuni ketika berbicara mengenai daerahnya dalam diskusi atau seminar nasional.

Semua itu menjadi penyebab utama mengapa daerah-daerah lain mau studi banding dan belajar ke Gorontalo hampir dalam segala aspek. (Kalau studi banding ke Gorontalo, itu belajar. Kalau studi banding ke Batam, itu pasiar, bos...). Pertanyaannya, apakah mereka-mereka yang studi banding ke Gorontalo itu benar-benar menemukan sesuatu yang baru di Gorontalo? Apakah mereka benar-benar pulang dengan rasa puas yang dalam? Ataukah justru mereka kecewa setelah melihat keadaan Gorontalo yang tidak lebih baik dari daerahnya sendiri?

Saya pernah menemani seorang Guru Besar ilmu politik UGM selama lima hari di Gorontalo. Namanya juga profesor yang `unik', beliau suka berjalan sendiri mewawancarai masyarakat yang ditemuinya. Saya hanya bisa memandunya untuk bertemu beberapa pemimpin politik daerah. Sebelum pulang ke Jogya, beliau berkata, "Jujur saja, Gorontalo tidak sebaik yang saya lihat di media massa (nasional). Yah, ibarat gadis, daerah ini berdandan cantik luar biasa, kulitnya mulus, body-nya mantap... tapi punya komplikasi (penyakit) jantung, lever dan PMS... hahaha." Meski nadanya becanda, saya menangkap kata-kata itu sebagai sesuatu yang serius.

CITRA dan EKSISTENSI

Kalau saya berkata bahwa hari ini citra Gorontalo sedang memuncak, mungkin tidak ada yang dapat membantahnya—termasuk mereka-mereka yang selama ini kelewat kritis terhadap pemerintahan Fadel-Gusnar. Appearance, performance dan style Gubernur Fadel Muhammad menjadi simbol dari pencitraan Gorontalo tersebut.

Fadel menampakkan berbagai kelebihan di antara seluruh gubernur yang ada di republik ini—terutama kecerdasannya dalam public relations. Andaikata ada `Indonesian Idol' yang hanya diikuti oleh para gubernur, Fadel adalah unggulan pertama untuk jadi "The Idol".

Sudah barang tentu pula kehebatan Fadel berimbas positif terhadap citra Gorontalo. Pengalaman individual saya, dua minggu lalu, ketika berkenalan dengan para Indonesianist dari berbagai negara yang sedang berada di Jakarta adalah salah satu buktinya. "Gorontalo... led by Fadel Muhammad. Am I right? So you come from the best province of this country...," ungkap mereka sebagai pembuka perbincangan. Saya berterimakasih atas pandangan positif mereka terhadap daerah dimana saya dan nenek moyang saya lahir. Bangga saya.

Eksistensi Gorontalo di mata nasional yang sebelum ini hampir nol kini melonjak ke atas. Nama daerah saya bukan hanya tersimpan dalam kognisi orang-orang Indonesia, tetapi juga diingat oleh para aktifis di berbagai negara. Umumnya mereka memiliki rasa dan pandangan positif terhadap Gorontalo. Bandingkan dengan keadaan tahun 1999. Ketika itu saya pasiar ke kota-kota besar di Jawa dan Sumatera. Dan pertanyaan yang biasa saya dengar waktu itu adalah, "Gorontalo dimana ya? Sulawesi atau Kalimantan ya?".

Di samping itu, di mata para intelektual lokal di berbagai daerah di Indonesia, Gorontalo dianggap sebagai suatu daerah yang menerapkan pembangunan dengan ideal. Sebab, berkali-kali media massa nasional—yang mereka baca—mengulas sisi baik dari program Agropolitan-Jagung, ekonomi kerakyatan, pengelolaan keuangan dan sistem birokrasi provinsi Gorontalo. Tidak heran jika kemudian Gorontalo menjadi salah satu tujuan utama studi banding.

Pendek kata, hari ini Gorontalo sudah memperoleh kebutuhan eksistensialnya. Dibandingkan dengan provinsi-provinsi yang seumurannya, Gorontalo lebih dikenal secara merata di seluruh Indonesia. Artinya, dari sudut pandang kebutuhan eksistensial itu, kita dapat menyimpulkan bahwa Provinsi Gorontalo sudah berhasil.

PENYAKIT

Citra yang baik tentu bukan satu-satunya ukuran keberhasilan, tentu saja. Kita juga mesti menyadari adanya fakta betapa masih banyak rakyat Gorontalo yang hidup di bawah garis kemiskinan. Betapa banyak anak-anak masa depan yang belum mampu untuk sekadar sekolah di SMP sekalipun. Kalau pun berstatus sebagai siswa, mayoritas anak-anak kita tidak terdidik dengan memadai.

Juga betapa semakin melebarnya jurang perbedaan antara anak-anak rakyat dan anak-anak elit daerah (pejabat eksekutif bertunjangan jabatan tinggi, anggota dewan, kontraktor dan pedagang besar). Pendidikan dan fasilitas pendidikan yang memadai—seperti SMU Cendekia dan SMU Wirabakti—hanya dimiliki anak-anak para elit, tidak oleh anak-anak rakyat.

Itulah penyakit kronis utama Gorontalo setelah lima tahun menjadi provinsi. Melebarnya jurang antara anak miskin dan anak kaya ibarat bibit-bibit penyakit `jantung' yang akan membunuh Gorontalo 10-20 tahun kedepan secara tiba-tiba.

Anak miskin akan tetap miskin ketika dia dewasa karena tidak terdidik, anak kaya akan tetap kaya di kemudian hari karena terdidik dengan baik. Ketika jumlah orang miskin+bodoh lebih banyak dari jumlah orang kaya+cerdas, di situlah bakal terjadi kerusuhan sosial yang bakal meluluhlantakkan segala sendi-sendi moral.

Di samping itu, korupsi, kolusi dan manipulasi yang dilakukan oleh para elit juga menggerogoti Gorontalo. Dia ibarat penyakit `lever' yang menyiksa dari hari ke hari dan hanya bisa hilang jika dilakukan operasi. Hari ini, pendapatan rakyat hanya meningkat sedikit dibanding sebelum provinsi.

Padahal, uang pembangunan Gorontalo 5 tahun lalu hanya berkisar Rp. 200 Milyar per tahun (anggaran Kabupaten Gorontalo, Boalemo, Kota Gorontalo, dan instansi-instansi struktural). Hari ini, uang pembangunan Gorontalo meningkat 10 kali lipat (karena otonomi daerah). Tetapi bagaimana dengan pendapatan rakyat? Adakah dia meningkat dua kali atau tiga kali lipat saja? Rupanya tidak.

Lalu kemana uang-uang yang datang dari Jakarta selama provinsi ini berdiri? Uang-uang itu pasti dikelola secara kolutif, korup dan manipulatif sehingga tidak mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara signifikan. Bahkan sebagian uang itu `pulang kampung' ke Jakarta.
Penyakit utama yang ketiga adalah kurangnya kesadaran moral para elit daerah. Di saat pembangunan sangat membutuhkan anggaran, contohnya, para kepala daerah, kepala dinas dan anggota dewan justru menggunakan uang itu untuk pelesir ke Batam (+ Singapura) dan yang terbanyak adalah menghabiskan SPPD (uang jalan) ke Jakarta tanpa membawa hasil yang signifikan bagi pembangunan rakyatnya.

Penyakit moral ini bisa diibaratkan dengan `PMS' yang dari waktu ke waktu akan membunuh produktifitas dan kreatifitas rakyat—karena akan ada anggapan bahwa "kalau ingin jadi orang kaya, cuma satu caranya: jadi anggota dewan (sebagai misal—red), tidak ada cara lain". Otak rakyat akan mengalami infertilitas (mandul)—mirip dengan akibat PMS beneran—karena ulah para elit daerah.

CITRA Vs. PENYAKIT

Menilai Gorontalo setelah lima tahun jadi provinsi dapat dilakukan, sedikitnya, menurut tiga cara. Pertama, menilainya dari citra dan eksistensi daerah saja. Kedua, menilai berdasarkan penyakit-penyakitnya saja. Ketiga, menilai berdasarkan citra dan penyakit secara berimbang.
Para pengguna cara pertama adalah mereka yang memiliki prinsip hidup "biar miskin asal sombong, biar kalah nasi asal jangan kalah aksi." Pengguna cara kedua adalah mereka yang hidup tanpa optimisme—dan karenanya keningnya selalu berkerut dan senyumnya sinis. Dunia seperti neraka bagi orang-orang yang disebut terakhir.

Karena itu saya memilih cara ketiga. Dengan berdasarkan uraian panjang di atas, saya juga ikut berkesimpulan bahwa ibarat gadis, Gorontalo kini berdandan cantik—membuat semua orang jatuh cinta pada pandang mata pertama, tetapi dia juga berpenyakit komplikasi jantung, lever dan PMS.

Namun seperti Tuhan bilang, tidak ada penyakit yang tak ada obatnya. Tiga penyakit utama Gorontalo itu masih dapat disembuhkan. Tinggal tergantung kepada seluruh rakyat daerah ini, apakah kita akan mencarikan `dokter baru' dan `obat baru' untuk menyembuhkan penyakit itu, ataukah kita mempertahankan dokternya dan hanya mengganti obatnya, ataukah kita memilih dokter yang dapat melakukan operasi penyembuhan tanpa menimbulkan luka yang merusak kecantikan Gorontalo.

Akhirnya, sebagai rakyat, saya ingin mengucapkan, "Selamat ulang tahun provinsi tercintaku yang cantik.... Semoga lekas sembuh....".

1 comment:

Anonymous said...

Sedih Aku mendengar rintihan para gadis Gorontalo di desa & Kotanya banyak yg di sunat dgn cara menyakitkan.Makanya dgn ini Aku meminta para gadis Gorontalo yg takut sunat,cintai Itilnya dan mau pergi dari daerahnya silakan hubungi emailku: fransisca_verawaty@ceweq.com
Kuminta kalian semua jangan di sunat,sayangilah itil kalian.Aku janji jika bisa bantu kalian keluar dari kekejaman sunat akan beri kalian keberuntungan.