Monday, July 23, 2007

Tingga Nanti te Padel yang... (2)

Catatan tambahan Elnino
14 Jan 2006


1. Disebut-sebut di berbagai media nasional—juga oleh beberapa elit politik Jakarta dalam diskusi-diskusi informal tapi serius—menjadi calon kuat menteri dalam reshuffle kabinet 6 Desember lalu meski pun dia sedang memegang jabatan gubernur. Nama Sutiyoso (Gubernur DKI) saja tidak pernah terdengar akan ditarik oleh presiden SBY menjadi menteri. Untuk lebih lengkapnya, lihat kembali artikel yang kami tulis di Gorontalo Post berjudul "Komunikasi Politik Pementerian Fadel" (26-27 Oktober 2005) dan "Masih Seputar Pementerian Fadel" (12 Desember 2005).

2. Sebulan setelah reshuffle kabinet (11 Januari 2006—sampai hari ini), menghebohkan publik Indonesia dengan menyatakan bahwa provinsinya menolak beras impor yang diprogramkan oleh pemerintah pusat (baca: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono). Bahkan dia menghimbau seluruh gubernur di republik ini memboikot beras impor yang akan disuplai ke daerah masing-masing. Untuk yang satu ini, saya hanya bisa berkomentar untuk Fadel: "Kampiooon....!!!" (Hurup "K"-nya jangan diganti dengan hurup "L" waa...). For the sake of the farmers, I'll go with you, Mr. Governor...

3. Tidak pernah mengerahkan preman-preman (jawara-jawara) kampungan meskipun dia merasa dizolimi. Kalau Fadel mencak-mencak, saya pernah mendengarnya. Tetapi sepanjang catatan empat tahun terakhir, semua pemimpin di Gorontalo (bahkan mungkin juga di Indonesia; Sutiyoso, misalnya) memiliki "pasukan rimba" yang bermoto "membela yang berkuasa". Pasukan semacam ini tega berbuat kerusakan di muka bumi ketika bosnya tersudut. Fadel? Dia tampaknya memilih `pake otak' ketimbang `pake otot'.

4. Menyapa orang dengan cara yang sangat akrab meski orang itu tidak dikenalnya. Seperti judul sinetron, sok kenal sok dekat (SKSD). Andai Anda laki-laki yang belum pernah bersua dengannya dan beroleh kesempatan pertama kalinya bertatapan muka dengannya, maka yang akan Anda terima adalah senyum akrab dibarengi kalimat, "Hai... apa kabar.... lama nggak ketemu.... kemana aja...". Tangan Anda akan dijabatnya dengan erat, bahu Anda akan ditepuk atau dielus sekurang-kurangnya dua kali.

5. Hampir setiap hari mendapatkan `pembelaan' dari media cetak lokal, khususnya Gorontalo Post dan PROSES. Saya pribadi menerima keluhan dari berbagai aktifis kampus (dosen dan mahasiswa) sebab komentar dan tulisan mereka yang mengkritik kebijakan Fadel tidak mendapat ruang di dua koran ini. "Selalu saja ngoni (wartawan) pe jawaban; te bos (pimpinan) tida suka yang bagitu...," ungkap beberapa teman aktifis. Bahkan syahidnya Sutanto Rauf (seorang sahabat wartawan PROSES) setelah mengalami kecelakaan di jalan yang menuju kantor Gubernur—yang dibangun Fadel di atas penggalan gunung itu—tidak mengubah agenda setting koran-koran milik Jawa Pos ini. Bahkan lagi, PROSES memberi penghargan "Man of The Year" untuk Fadel di tahun syahidnya Tanto (wartawan Proses/Tribun yang meninggal kecelakaan di tanjakan menuju kantor Gubernur yang dibangun Fadel)!

6. Memiliki kemampuan oral dan menulis sama baiknya. Jangankan wakil gubernur, bupati atau walikota di Gorontalo.... andai bergabung pun, rektor-rektor di Gorontalo belum tentu mampu menghasilkan tulisan sebaik Fadel!! Salah satu karya tulis terbaik Fadel berjudul "Competitive Advantages Agroindustri Indonesia" yang dipaparkannya dalam orasi ilmiah di Universitas Indonesia (1999). Untuk yang satu ini, saya memperkirakan bahwa bagusnya tulisan-tulisan Fadel tidak lepas dari `bantuan kecerdasan' dari partnernya waktu itu; Suharso Monoarfa. Baca pula bagaimana karya-karya tulis Fadel yang dimuat oleh Kompas, Media Indonesia dan Republika.

7. Berbicara selalu dengan argumentasi ilmiah dan logis bagi sebagian besar masyarakat (yaitu mereka yang tidak termasuk aktifis aliran kritis). Bandingkan dengan pimpinan-pimpinan Gorontalo lainnya yang kerap tampil dengan argumentasi bernada prokololo dan tidak masuk akal. Artinya, jikalau Fadel itu bukan pemimpin yang jujur, maka dialah pemimpin yang paling sulit ketahuan bohongnya.###

No comments: