Monday, July 23, 2007

Tingga Nanti te Padel yang... (1)

Catatan Elnino
11 Jan 2006


1. Jadi gubernur di daerah yang tidak pernah dia tinggali sebelumnya. Yang pernah tinggal di Gorontalo kan adalah orang tuanya. Kondisi ini mirip dengan Rachmat Gobel. Bedanya, (mungkin) karena Rachmat bermarga Gobel, dia sering pulang kampung ke Gorontalo. Nah, sebelum jadi gubernur Gorontalo, kemana Fadel pulang kampung? Ternate? Palu? Jawa Timur?

2. Jadi gubernur meski telah divonis pailit oleh pengadilan. Persoalan yang satu ini sudah tak jelas lagi sekarang, apakah dia masih berstatus pailit atau tidak lagi. Ketika menjadi calon gubernur, 2001, dia melaporkan kekayaan milik pribadi senilai Rp.100 miliar lebih. Pendek kata, pailit tapi debo kaya. Jadi gubernur pula.

3. Empat tahun `dikerjai' oleh partai yang memilihnya jadi gubernur. Setelah dipilih oleh 25 anggota DPRD Fraksi Golkar ditambah 1 suara PAN dan 1 suara PBB, Fadel menang. Dan setelah itu dia selalu dipusingkan oleh Partai Golkar pimpinan Achmad Pakaya yang kerap tampil terlalu kritis lewat dua `juru bicara'nya; Rustam Akili dan Budiyanto Napu. Golkar baru bisa `dijinakkan' oleh Fadel setelah Pakaya lengser dari Ketua Golkar Gorontalo, 2005 lalu.

4. Pake istilah keren `agropolitan' meski pun hakikatnya sama dengan visi-misi kepala daerah di seluruh Indonesia. Agropolitan pada hakikatnya adalah pembangunan masyarakat pertanian. Sepertinya semua presiden, gubernur dan bupati di Indonesia ini memang selalu mengedepankan pertanian di setiap programnya (yang kebanyakan gagal itu). Namun, meski punya program yang sama saja dengan gubernur/bupati lain, Fadel tampil lebih cool dengan istilah agropolitannya.

5. Sarjana (bo insinyur—red) yang menjadi `guru' bagi para doktor, MM,MBA, M.Hum, dll. Fadel sering `mendidik' setidaknya 1 wakil gubernur bergelar MM, tiga kepala dinas bertitel doktor, dan sejumlah Kadis, Karo, Kasubdin, Pimpro, dll yang juga bergelar master. Jelas sudah, Fadel membuktikan bahwa gelar akademik bukanlah `standar keterdidikan', apalagi gelar MM, MBA dan doktor yang diperoleh setelah kuliah selama tiga bulan setiap sabtu dan minggu—masing-masing satu setengah jam per course. (Apalagi yang berembel-embel humoris causa...!!)

6. Lebih banyak disukai perempuan di seluruh Indonesia karena gantengnya ketimbang karena programnya. Saya berani bertaruh, 99 persen perempuan—baik di Gorontalo atau di luar daerah—menyukai Fadel karena terpesona appearance dan performance personalnya. Mungkin hanya Prof. Dr. Winarni Monoarfa perempuan yang terkesan dengan program Fadel. Itu juga karena dia kepala dinas, hahaha!

7. `Menggergaji' sebuah gunung untuk membangun kantor Gubernur di atasnya. Kata-kata apalagi yang bisa menjelaskan `keunikan' Fadel yang satu ini? Mungkin kita dapat meminjam istilah yang dipakai salah satu produk minuman energi: "You uedan, man....!!"

8. Sering melaksanakan even-even nasional di daerahnya supaya rakyat semakin lupa untuk mengkritik program (baca: janji) pokoknya sebagai gubernur. Even-even itu seperti Hari Keluarga Nasional, Seleksi Tilawatil Quran (STQ) Nasional, dan sejumlah konser yang mendatangkan artis maupun da'i-selebriti. Beberapa di antara artis itu bahkan tampil oke untuk sekadar mengencangkan urat-urat lelaki. Saya sih asyik aja...

9. Meminta penyelenggaraan Harganas di daerahnya ketika even itu ditolak oleh banyak daerah karena dianggap menguras APBD. Fadel sendiri yang meminta daerahnya menjadi pelaksana Harganas ketika Presiden Megawati sedang bingung menawar-nawarkan kegiatan ini kepada gubernur-gubernur yang lain. Cerdiknya Fadel, uang rakyat yang habis untuk Harganas—meski termasuk besar untuk daerah miskin seperti Gorontalo—tidak sebesar yang diperkirakan gubernur-gubernur lainnya.

10. Meminta Menteri Agama (2003) untuk mencanangkan daerahnya sebagai Pusat Kebudayaan Islam (PKI) di Indonesia Timur meski masih banyak daerah yang lebih Islami di luar daerahnya. Ini sebetulnya `cara' yang bagus dalam melakukan `reislamisasi' orang-orang Gorontalo. Sayang, tidak ada tindak lanjut yang konkrit dan signifikan untuk membangun citra PKI tersebut.

11. Menyelenggarakan dengan baik STQ Nasional hanya dengan anggaran Rp.6 milyar. Itu dia lakukan di saat Menteri Agama RI (2005) berencana menghapuskan STQN karena masalah dana. (Peran Wagub Gusnar Ismail dan Penjabat Bupati Gorontalo Idris Rahim memang cukup besar dalam melakukan efisiensi disini). Bandingkan dengan Banten yang berancang-ancang menghabiskan Rp.10 Milyar untuk even yang sama. Bandingkan pula dengan Sulawesi Tenggara yang merencanakan Rp.100 Milyar untuk pelaksanaan Musabaqah Tilawatil Quran Nasional (MTQN = setingkat lebih `rame' ketimbang STQN)

12. Gubernur di Indonesia Timur yang disukai wartawan lokal maupun nasional karena keahliannya dalam berbicara dan `kedermawanannya' kepada makhluk-makhluk pers itu. Soal ini, saya hanya ingin mengatakan satu hal; hanya sedikit wartawan yang pernah menolak pemberian Fadel... hanya sedikit... (Kalau nggak percaya, tanya jo pa sekprinya, Erman Baga atau orang dekatnya, Ka Lukman.... Mudah-mudahan di milis ini ka Lukman bisa menjelaskan berapa saja yang pernah saya dan teman2 wartawan lainnya di Gorontalo terima dari Fadel)

13. Berpidato di hadapan rakyatnya bagaikan Guru TK di hadapan murid-muridnya. Bikin rakyatnya terpesona mengangguk-angguk setuju ketika dia berpidato meski terkadang ada unsur distorsi statistik dalam pidatonya itu. Untuk yang ini, Herdiyanto Yusuf pernah menjelaskannya dengan lugas dalam sebuah ulasan di Gorontalo Post dengan judul "Fadel dan Genre Baru Komunikasi Politik". Yanto memperhatikan kalimat-kalimat Fadel ketika bicara di depan para petani;

"Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara.... Kemarin bapak Gubernur dipanggil sama Presiden. Presiden bilang sama bapak Gubernur, "Del... apa saja kekurangan rakyatmu?"... Pak Gubernur jawab, "Pak presiden, rakyat saya butuh sekolah... dst...dst...dst..."

14. Dipuja-puja oleh ketua DPRD-nya. Mungkin di antara seluruh ketua DPRD Provinsi di republik ini, hanya pak Amir Piola Isa yang ngefans berat sama gubernurnya.

15. Dipandang sangat miring oleh rakyatnya sendiri yang sedang merantau di ibukota negara. Buktinya, tidak sedikit komentar dari orang-orang (untuk tidak menyebut oknum-oknum) LAMAHU Jakarta yang selalu diawali dengan kalimat, "So apa so te Padel itu??!"

16. Gubernur yang menjadi `anak bupati'. Dia diberi gelar adat "Tapulu Lo Madala" (Pangeran Negeri). Jauh hari sebelumnya, Bupati Boalemo Iwan Bokings dianugerahi gelar "Ta'uwa Lo Madala" (Raja Negeri). Berarti Gubernur adalah `anak bupati' dalam perspektif adat. Artinya, namanya juga anak, dia tidak boleh `kurang ajar' atau `melangkahi' bapaknya supaya tidak kena kutukan (biito). Tapi di jaman sekarang ini, kutukan tidak pengaruh lagi karena yang mengutuk pun pantas dikutuk.

17. Dikagumi sekaligus dihujat secara ekstrim oleh rakyatnya sendiri. Ada ratusan SMS yang dimuat Gorontalo Post berintikan `segala puji bagi Fadel'. Bahkan ada anggota DPRD Provinsi (2002) yang menulis opini di G-Post dengan judul "Fadel Pembawa Nur Keselamatan bagi Gorontalo". Di sisi lain, ada pula yang menghujat Fadel secara keterlaluan. Beberapa bulan lalu G-Post memuat sebuah SMS yang mengata-ngatai Fadel, ".... Pate lo Arabi mohimbulowa" (kalau tidak salah, begitulah bunyinya).

18. Bikin Etalase Perikanan yang Etalase sebuah Toko pun masih lebih baik dari itu. Etalase perikanan ini dicanangkan oleh Menteri Kelautan (2002?) yang `bekas-bekas'nya masih dapat dilihat dari perumahan nelayan di Boalemo. (Maaf, data soal ini saya kurang)

19. Tidak ingin (bukan menolak) IKIP di daerahnya jadi universitas. Di saat Nelson dkk dari IKIP Negeri Gorontalo sedang euforia demi `meningkatkan status' lembaganya dengan dukungan resmi dari seluruh DPRD Prov/Kab/Kota, Fadel malah berkata, "Menurut saya, IKIP kita tidak perlu jadi universitas... Biarlah kita tetap IKIP dan menjadikan `mencetak tenaga pendidik yang berkualitas' sebagai core competence kita." Dia lalu mengutip teori Comparative Advantages-nya David Ricardo dan teori Competitive Advantage-nya Michael Porter. Dalam hal ini, Fadel benar. Lihatlah sekarang, tidak sedikit profesor yang berkomentar di Kompas, Media Indonesia, Metro-TV dan berbagai seminar yang mengusulkan agar `Universitas bekas IKIP' tetap menjadikan `ilmu pendidikan' sebagai core competence-nya.

20. Jatuh pingsan ketika mengatasi unjuk rasa mahasiswa. Ini terjadi ketika dia mencoba meredam amarah mahasiswa UNG yang ingin menyerang rumah Medi Botutihe (2 Desember 2004).

21. Membuat presiden Zambia (Afrika) mampir ke daerahnya. Si presiden itu ingin studi banding dan melihat percontohan jagung di Gorontalo. (Perasaan.... siapa pun yang ingin studi banding Jagung, pasti ke lahan percontohan di Tenilo. Sedikit-sedikit, Tenilo.... Sedikit-sedikit, Tenilo... Jangan-jangan lahan jagung di luar Tenilo tidak pantas dicontoh.)

22. Tampil menjadi khotib dan Imam sholat Idul Fitri lebih baik dari ustadz-ustadz yang ada di daerahnya. Ini tidak perlu penjelasan lagi. Entah Fadel yang hebat, entah ustadz-ustadz itu yang payah.

23. Jadi gubernur selama hampir lima tahun dan tidak pernah membangun rumah pribadi di daerah yang diperintahnya. Meniru sebuah lagu dangdut yang dinyanyikan pelantun Dayu AG, saya ingin bersenandung, "Kalau memang dia... bikin rumah di sana... Tunjukkan padaku... dimana pondasinya..."

24. Mencanangkan pembangunan kualitas SDM, tetapi (enam) pegawainya yang kuliah S2 di Jogya (UII) berada dalam keadaan yang `pantas dapat BLT'. Padahal, dia sendiri sering bolak-balik ke Jogya (UGM) untuk studi S-3. Begitulah nasib orang-orang Pemprov... Kuliah di kota yang sama, tapi masalah perut tetap berbeda.

25. Menjadi calon gubernur terkuat (2006-2011)—setidaknya menurut hasil survey LSI—meski sudah ada 24 catatan di atas.***

No comments: